Senin, 20 Juni 2016

Sepucuk Surat Untukmu

pict source here


Teruntuk Kamu,
Yang (dulu) berjanji tidak akan pernah meninggalkanku


Selamat pagi, Kamu.
Apa kabar? Jangan kaget ketika membaca surat dariku,

Aku memutuskan untuk menuliskan surat ini, bukan karena aku menginginkanmu untuk kembali, aku hanya ingin mengingat sesuatu hal yang biasa disebut dengan kenangan.

Hari ini, aku menemukan semua tentang kita didalam kardus usang penuh debu. Semua kenangan tentangmu ada disana, termasuk cinta kita.
Ah, mungkin hanya cintaku. Karena sekarang aku baru menyadari, bahwa kamu tak pernah benar-benar memberikan cintamu.

Aku membuka kardus itu dan melirik barang-barang didalamnya, semua masih utuh, hanya berdebu dan tak terawat, sama seperti cintaku padamu.

Sejak hari saat kamu meninggalkanku dengan alasan yang masih belum ku mengerti sampai sekarang, aku memutuskan untuk tak lagi merawat cintaku padamu yang dulu setiap hari ku pupuk agar tumbuh dengan baik dan terawat. Aku memutuskan untuk membiarkannya layu, dan berharap dapat hilang seiring dengan berjalannya waktu.

Sekarang biarkan aku sejenak mengingat kembali semua tentang kita, bukan karena masih ada cinta untukmu, tapi aku hanya rindu, rindu pada masa lalu yang (dulu) aku sebut dengan kita.

Kita, aku dan kamu.

Kamu pernah berkata bahwa kamu akan tetap menggenggam tanganku apapun yang terjadi dan berjanji akan tetap disampingku. Kamu bilang kita akan mewujudkan mimpi kita untuk terus bersama. Atau mungkin kamu memang tak pernah memimpikannya.

Kemudian kita sampai pada hari itu, hari dimana perjalanan kita sampai di persimpangan jalan, hari dimana kamu memutuskan untuk tidak lagi menggenggam tanganku dan memilih melanjutkan perjalanan dengan arah yang berbeda.

Katamu, kamu tak bisa untuk terus ada disampingku. Katamu, mimpi kita untuk terus bersama sangat sulit untuk terwujud. Katamu, kamu harus pergi.

Tapi bukankah kita dapat berjuang bersama dengan saling menggenggam? Melewati jalan terjal meski terasa sulit. Lantas mengapa kamu memilih untuk menyerah?

Dan pada hari itu, aku hanya bisa melihat punggungmu yang berjalan menjauh dan langkah kaki yang berjalan pergi.

Aku benci kita harus sampai pada hari itu, aku benci pada kamu karena telah meninggalkanku, terlebih aku benci pada diriku sendiri karena dengan mudahnya percaya pada janji yang telah kamu ucapkan. Atau aku benci karena kita telah dipertemukan.

Aku memutuskan menulis surat ini karena aku ingin berdamai dengan masa lalu, percayalah, hidup dengan kebencian rasanya sangat menyiksa.

Aku mencoba untuk memahami alasan mengapa pada hari itu kamu tidak lagi menggenggam tanganku dan memutuskan untuk pergi, walau pada akhirnya sampai sekarang aku tak pernah bisa memahaminya.

Aku berharap surat ini tidak akan pernah sampai padamu, tapi jika suatu saat nanti akhirnya kamu membaca surat ini, aku hanya ingin meminta maaf karena telah menyalahkanmu sepenuhnya, aku lupa jika masih ada Tuhan yang bisa saja kapanpun memisahkan kita.

Jika nanti akhirnya kamu membaca surat ini, aku ingin berterima kasih karena kamu pernah hadir dan menemaniku menempuh perjalanan meski harus berpisah di persimpangan.

Kepada kamu, mari kita berdamai.


Dari Aku,
Seseorang yang sedang berusaha melupa pada apa-apa yang pernah menjadi kita.