Minggu, 19 November 2017

Mimpi Yang (Tak) Nyata

pict source here



Pagi ini, saya bangun dengan ingatan tentang kamu di kepala. Seperti hari-hari sebelumnya, belakangan ini kamu selalu hadir di mimpi saya. Saya tidak tau mengapa, tapi hal itu sedikit banyak membuat pikiran saya menjadi tersita.

Berkali-kali saya meyakinkan diri saya sendiri untuk tidak lagi memikirkan apa-apa tentang kamu, tetapi entah dengan cara apa, berkali-kali pula kamu selalu bisa masuk ke pikiran saya dengan paksa.

Seperti beberapa hari ini, kamu selalu hadir dalam mimpi. Saya tidak tau apakah kamu mencoba untuk masuk kembali ke pikiran saya seperti waktu lalu, atau mungkin saya yang terlalu rindu.

Dalam mimpi itu, kita kembali ke masa tahun kedua di sekolah menengah. Masa dimana kita masih begitu dekat. Bukan masa sekarang, yang bicarapun kita tak sempat.

Apa yang terjadi dalam mimpi itu, mencerminkan kita enam tahun lalu. Kita yang selalu bercanda, kita yang tak henti-hentinya bercengkerama, dan kita yang tak bosan bercerita perihal apa saja.

Saya tau itu hanya mimpi, yang takkan mungkin terjadi. Tapi entah mengapa, mimpi itu sungguh terasa nyata. Saya seperti dilempar kembali ke masa lalu, masa di mana kita yang masih terlalu lugu untuk tau apa itu rindu.

Tapi nyatanya, sekarang jauh berbeda. Kamu pergi dengan duniamu, tapi saya masih berkutat dengan apa-apa perihal kamu. Adilkah?

Dan untuk sejenak saja, saya senang kamu hadir kembali. Saya senang kamu mengajak saya bercanda, bercengkerama, dan bercerita lagi. Meski saya tau itu hanya mimpi.

Saya masih terus berusaha untuk tidak membiarkan rindu itu ada. Tapi mungkin saja mereka akan datang satu atau dua, dan saya tidak bisa menghindarinya.

Dan jika nanti saya rindu, tak apa tak ada temu. Tapi barangkali, bersediakah kamu menemuiku dalam mimpi?

Sabtu, 02 September 2017

Karena Kamu; Saya Jatuh

pict source here

Saya tidak pernah tau persis kapan perasaan ini mulai ada untuk kamu. Yang saya ingat, kamu adalah orang pertama yang membuat jantung saya berdebar lebih kencang dari biasanya bahkan hanya dengan memikirkanmu.

Kamu; dengan segala yang ada pada dirimu, membuat saya begitu mudah menjatuhkan pilihan tanpa pernah mempertimbangkan risiko apa yang akan saya terima nantinya

Apa-apa yang berhubungan dengan kamu selalu menjadi pemicu debar di dada saya menjadi bergemuruh. Sebegitu hebatnya-kah, kamu?

Kamu tidak pernah melakukan apa-apa untuk saya, tetapi mengapa saya jatuh pada kamu begitu mudah? Kamu bahkan tidak pernah sedetikpun melihat ke arah saya, lantas mengapa semakin hari perasaan ini terus bertambah?

Setelah enam tahun berlalu dengan perasaan yang sama, belakangan saya menyadari bahwa kita memang berbeda.

Saya selalu memikirkan apa-apa tentang kamu, kamu tidak.
Saya selalu senang melihat kamu, kamu tidak.
Saya selalu melihat ke arahmu, kamu tidak.
Saya menyukai kamu, kamu tidak.
Saya menjatuhkan hati pada kamu, kamu tidak.

Terlalu banyak perbedaan yang bertolak belakang antara saya dan kamu.

Berkali-kali saya mencoba untuk tidak memikirkan kamu. Berkali-kali pula saya meyakinkan diri saya sendiri untuk berhenti menjatuhkan hati pada kamu.

Tetapi nyatanya, setelah enam tahun berlalu sejak dada saya berdebar lebih cepat karena kamu, saya masih menuliskan apa-apa tentangmu. Sebegitu hebatnya-kah, kamu?

Belakangan pula saya juga menyadari bahwa apapun yang terjadi, meski sulit untuk saya lalui, saya harus tetap berusaha agar dapat bersikap biasa saja ketika tidak sengaja bertemu dengan kamu nanti.

Saya ingin ketika melihat kamu, jantung saya tidak berdetak lebih cepat dari biasanya. Saya ingin kamu bukan lagi menjadi pemicu nomor satu debar di dada saya menjadi gemuruh.

Sedikitpun saya tidak pernah membenci kamu. Saya tidak pernah marah karena kamu tidak mempunyai perasaan yang sama untuk saya. Saya tidak pernah menyesal karena menjatuhkan pilihan pada kamu. Saya juga tidak pernah menyalahkanmu atas perasaan ini.

Jatuh kepada kamu adalah keputusan yang saya buat sendiri.

Setelah enam tahun berlalu sejak saya memutuskan untuk menjatuhkan hati pada kamu, satu hal yang begitu terlambat saya sadari adalah; perasaan saya terlalu berharga untuk seseorang seperti kamu.

Kepada kamu; Terima kasih telah membuat saya menyadari bahwa perasaan ini telah jatuh pada orang yang salah.

Seperti kamu, misalnya.



/Sidoarjo, Agustus 2017/

Rabu, 14 Juni 2017

Kita Yang Lain

pict source here


Di sini hujan belum juga reda. Bagaimana di tempatmu? Apakah sudah ada tanda-tanda akan berhenti atau malah justru turun lebih banyak lagi? Aku sekarang sedang menikmati cangkir teh kedua yang baru saja selesai kubuat, udara di luar begitu dingin hingga aku harus merapatkan hoodie cokelatku dan menggosokkan telapak tangan berkali-kali.

Aku menatap ke arah jendela, memandang butiran air hujan yang semakin lama turun semakin banyak. Kata orang, hujan akan turun sepaket dengan kenangan di dalamnya. Aku setuju. Karena sekarang, apa-apa tentang kita tiba-tiba saja muncul di kepala. Aku sudah mencoba untuk tak mengingatnya kembali, tapi kenangan itu terus berjalan seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.

Jadi, untuk sejenak saja, aku membiarkan diriku terlempar ke masa lalu. Saat dimana kita masih sama-sama muda dan bebas. Saat dimana kita punya banyak sekali impian. Saat dimana kita masih begitu polos untuk mengetahui bahwa apa yang kita rencanakan, tak selalu sejalan dengan kenyataan.

Waktu itu kita hanyalah sepasang remaja delapan belas tahun. Masih terlalu muda untuk saling mengerti. Kita masih terlalu muda untuk saling memahami perasaan satu sama lain dan lebih memilih mementingkan ego masing-masing.

Kita dulu pernah berjanji untuk terus bersama, saling menggenggam apapun yang terjadi. Apakah kamu ingat? Mungkin itu terdengar naif karena diucapkan oleh sepasang anak adam yang masih remaja. Sepasang anak adam yang masih belum mengerti apa itu perasaan yang sesungguhnya.

Kita bahkan menolak untuk menyadari bahwa semesta dengan segala takdir-Nya ternyata lebih kuat daripada kita, jauh lebih berkuasa daripada kita. Dan kita sendiri terlalu kecil untuk bisa melawannya.

Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Keadaan sudah berubah, dan kita bukan lagi dua orang yang sama. Kita sekarang adalah dua orang yang berbeda dengan kita enam tahun yang lalu dan tentunya dengan perasaan yang berbeda pula.

Namun kenyataannya kita tidak bisa bersama, kita memilih berpisah bahkan sebelum kita belajar lebih jauh untuk memahami satu sama lain. Kita bahkan tidak mencoba untuk berjuang bersama, kita sama-sama mengaku lelah, kita memilih acuh dan tidak peduli, hingga akhirnya kita memutuskan untuk berhenti.

Aku menyesap kembali teh yang sudah mulai habis setengah. Aku merapatkan hoodieku kembali karena udara di luar juga malah semakin dingin. Aku menghela napas dalam-dalam, menghirup udara banyak-banyak, karena rongga udara di sekitarku seolah-olah berkonspirasi untuk menyesakkan dadaku.

Kamu tau? Awalnya memang sulit menerima kenyataan yang ada. Karena kamu adalah orang pertama yang membuat jantungku selalu berdebar lebih cepat dari biasanya. Kamu orang pertama yang pesannya selalu aku harapkan ketika mengecek ponsel.

Tetapi waktu terus bergulir, hari terus berganti, bumi tetap berevolusi, planet-planet tetap mengorbit, dan seluruh aktifitas tetap berjalan seperti semula.

Aku sempat merasa ini tidak adil karena tidak ada yang berubah setelah perpisahan kita, mengapa hanya aku yang terus mengenang dan menyesalinya. Bahkan kamu tetap baik-baik saja setelah itu, bukan? Dan aku akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Aku memutuskan untuk tidak mengenangnya lagi, aku memutuskan untuk tidak menyesali pertemuan kita dan lebih memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan yang rapi di memori. Dan kamu lihat? Hidupku tetap berjalan normal meski tidak ada lagi kamu di dalamnya. Hingga tiba-tiba saja hujan memaksaku mengingat kembali kenangan tentangmu.

Aku kembali menatap jendela. Hujan di luar sudah mulai mereda tapi udaranya tetap saja tidak berubah, cangkir teh dalam genggamanku juga sudah kosong. Aku merapatkan kembali hoodieku dan menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya.

Seiring rintik hujan berhenti mengetuk kaca jendela, aku berharap kenangan apa-apa tentangmu juga berhenti mengetuk kepala.

Jumat, 28 April 2017

Cangkir Kopi (Terakhir)

pict source here


Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Sudah siap di atas meja. Aromanya menggoda, asapnya mengepul dan menari-nari di udara. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Dengan banyak cemas jika kau tak juga kunjung pulang.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Kopi buatanku yang katamu selalu membuat candu. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Meski lelah, tapi senyummu yang manis itu selalu ada untukku. Meski lelah, kau tak pernah mengeluh.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Yang selalu kau hirup aromanya dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menikmatinya. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Kemudian setelah membersihkan diri, kita akan kita bercengkrama. Kita selalu duduk disini, bercerita perihal apapun yang kau alami hari ini.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Cangkir kopi ke seratus dua puluh enam pula yang sudah mendingin karena tak sedikitpun tersentuh.

Kau apa kabar, Sayang?
Bagaimana kehidupanmu yang baru? Apakah ada seseorang yang menyeduhkan kopi untukmu seperti buatanku?

Sayang, ada rindu di sini. Ia sudah lama ada dan tak mau pergi. Malah sekarang ia bertambah banyak hingga aku tak dapat menampungnya. Dan semua itu tentangmu. Tidakkah kau juga merasakannya?

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Mungkin menjadi yang terakhir, aku tak tau.

Sayang, maafkan aku yang akhir-akhir ini jarang menemuimu. Bukannya aku tak mau, aku bahkan rindu. Tapi aku takut nanti yang ada malah air mataku.

Ini sore ke seratus dua puluh enam sejak kepergianmu, Sayang.

Mungkin besok, jika ada waktu, aku akan mengunjungi pusaramu. Meski aku tau sebanyak apapun aku mengingatmu, rindu ini tak pernah mau tau.

Jumat, 14 April 2017

[Quotes of The Book] The Missing Rose by Serdar Ozkan

pict source here


Beberapa hari yang lalu saya baru selesai membaca sebuah novel yang ditulis oleh penulis asal Turki, Serdar Ozkan, yang berjudul The Missing Rose. Seperti pada postingan sebelumnya, di sini saya akan membagikan quotes atau kutipan pada novel tersebut. Tapi sebelum itu, for the first, let’s read the blurb!
 
***

Diana adalah wanita muda yang cerdas dan cantik, dan memiliki segalanya, namun tidak bahagia, karena kebutuhannya untuk mendapatkan persetujuan dan pujian dari orang-orang lain, telah membuatnya tak bisa menjadi diri sendiri.
Ketika ibunya menjelang ajal, Diana baru mengetahui bahwa dia mempunyai saudari kembar bernama Mary. Sang ibu mengatakan Mary sedang dalam bahaya, dan Diana harus menemukan dan menyelamatkannya.
Satu-satunya petunjuk hanyalah surat-surat Mary kepada ibu mereka. Dalam surat itu, Mary mengisahkan perjalanannya ke sebuah taman mawar di Istambul, di mana dia belajar berbicara dengan mawar-mawar.
Berbekal surat itu, Diana berangkat ke negeri asing, menempuh perjalanan yang akan membawanya pada suatu penemuan yang sungguh tak diduganya.

***

Novel yang diterbitkan Gramedia pada tahun 2009 ini berjumlah 224 halaman. Meski tidak terlalu tebal, namun novel ini sarat dengan kutipan-kutipan yang mungkin akan membuat kalian terkesan. Mulai dari kutipan yang penuh makna hingga kutipan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.

Honestly, saya sempat bingung kutipan mana yang harus saya masukkan untuk postingan ini karena terlalu banyak ‘quotes-of-the-missing-rose-that-i-like’. Jadi buat kalian kalian yang suka dengan tipikal buku yang ‘full of quotes’, saya rasa tidak ada salahnya mencoba membaca novel ini. Worth it, kok. Terlepas dari itu, alur ceritanya memang benar-benar mengesankan. Bahkan sampai sekarang saya masih belum bisa move on dari novel tersebut.

Memang tidak semua kutipan akan saya tulis karena terlalu banyak, mungkin hanya beberapa saja. Tapi tak apa, tak ada salahnya untuk mengintip. Check this out!

“Mom bilang kau dan aku kembar. Tapi bagiku kau bukan siapa-siapa, tak lebih dari ilusi.” –hal 13

“Aku pergi untuk merebut kembali mawarku…” –hal 20

“Kaubilang kau selalu bersamaku… Kalau memang begitu, kenapa aku sangat merindukanmu?” –hal 27

“Bukan, bukan seperti yang kaukira
Kau tidak kehilangan aku.
Aku bicara padamu lewat segala sesuatu
Di balik lembar kenangan…” –hal 30

“Kalau aku hanya menggunakan mata untuk melihat, aku pasti tersesat dalam dunia kalian yang samar-samar.” –hal 51

“…Dia bukan hanya seorang ibu, dia, dia cahaya yang menyinari semua orang di sekelilingnya,”
“Itu benar,”
“Tapi aku tidak pernah mendekati cahayanya, aku tidak pernah berusaha mendapatkan terangnya… Dan saat segalanya hampir berubah, dia pergi.” –hal 54

“Mungkin hidup jadi lebih mudah kalau pikiranmu tidak terlalu waras.” –hal 60

“Entahlah, aku tidak yakin apa aku ingin dia menganggapku berbeda hanya karena aku pernah masuk Harvard. Aku tidak ingin sengsara nantinya karena tidak dicintai apa adanya…
Kalau dia menyukaiku karena aku sempat kuliah di Harvard, lebih baik dia tidak menyukaiku sama sekali. Aku bukan pendidikanku. Atau pekerjaanku, atau otakku… Dan aku bukan gabungan semuanya.” –hal 71

“Well, seperti semua orang. Kita semua mengira kita melihat orang yang sama ketika menatap cermin setiap pagi. Teman-teman kita mengira mereka melihat orang yang sama bahkan setelah tidak bertemu beberapa bulan.
…mereka tidak pernah berpikir orang yang ada di depan mereka mungkin sudah jadi orang yang baru… Menurutku dalam jangka waktu beberapa hari saja orang bisa berubah.” –hal 83

“Selama waktu bergulir maju, masa depan yang membuat kita terpesona hanyalah masa lalu yang belum tersentuh.” –hal 85

“…Supaya kau tidak merasa kehilangan, jangan mencari apa yang sudah kaumiliki, di luar dirimu sendiri.” –hal 93

“Bukankah realitas juga sulit dipercaya? Bumi yang kita pijak ini misalnya, rasanya begitu stabil, padahal rotasinya lebih cepat daripada pesawat tercepat.” –hal 117

“Selama kau percaya pada kemampuanmu sendiri, aku percaya padamu.” –hal 125

“…Kadang sikap diam lebih meyakinkan daripada ratusan janji yang terucap.” –hal 133

“…pemahaman diri ibarat tangga dan untuk memanjat lebih jauh, kau tidak boleh memijak anak tangga yang sudah kautinggalkan.” –hal 139-140

“Aku tidak pernah mengharapkan mereka untuk berlutut di hadapanku. Tidak, itu bukan cinta. Cinta tidak merendahkan para pencinta, melainkan meninggikannya.” –hal 168

“Tak ada seorang pun yang sempurna. Kita juga tidak perlu jadi sempurna. Semua orang berharap untuk dikagumi dan diterima oleh orang-orang di sekeliling mereka. Itu normal.” –hal 176

“Lebih dari yang lain, mawar disebut mawar karena wanginya.” –hal 179

“Hanya orang-orang yang berani berkorbanlah yang bisa meraih hal-hal yang baik.” –hal 179-180

Itu tadi beberapa kutipan dari novel The Missing Rose. Terlepas dari itu, ada dua kutipan yang jadi favorit saya sejauh ini. Bukan karena kata-katanya, terlebih karena maknanya.

“Satu-satunya hal yang kaubutuhkan untuk merasa istimewa adalah dirimu sendiri.” –hal 25

“…Ada yang beranggapan Tuhan terlalu hebat dan terlalu mulia untuk ikut mengurusi masalah sehari-hari kita. Padahal justru sebaliknya, karena Dia hebat dan mulia, Dia ikut terlibat dalam masalah kita yang paling sepele sekalipun.” –hal 134

Jadi, gimana? Tertarik untuk mencoba membaca novel ini?