pict source here |
Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Sudah siap di atas meja. Aromanya menggoda, asapnya mengepul dan menari-nari di udara. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Dengan banyak cemas jika kau tak juga kunjung pulang.
Ini
cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Kopi
buatanku yang katamu selalu membuat candu. Seperti
biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah.
Meski lelah, tapi senyummu yang manis itu selalu ada untukku. Meski lelah, kau
tak pernah mengeluh.
Ini
cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Yang selalu
kau hirup aromanya dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menikmatinya. Seperti
biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah.
Kemudian setelah membersihkan diri, kita akan kita bercengkrama. Kita selalu
duduk disini, bercerita perihal apapun yang kau alami hari ini.
Ini
cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Cangkir kopi ke
seratus dua puluh enam pula yang sudah mendingin karena tak sedikitpun tersentuh.
Kau
apa kabar, Sayang?
Bagaimana
kehidupanmu yang baru? Apakah ada seseorang yang menyeduhkan kopi untukmu
seperti buatanku?
Sayang,
ada rindu di sini. Ia sudah lama ada dan tak mau pergi. Malah sekarang ia
bertambah banyak hingga aku tak dapat menampungnya. Dan semua itu tentangmu.
Tidakkah kau juga merasakannya?
Ini
cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Mungkin menjadi
yang terakhir, aku tak tau.
Sayang,
maafkan aku yang akhir-akhir ini jarang menemuimu. Bukannya aku tak mau, aku
bahkan rindu. Tapi aku takut nanti yang ada malah air mataku.
Ini
sore ke seratus dua puluh enam sejak kepergianmu, Sayang.
Mungkin
besok, jika ada waktu, aku akan mengunjungi pusaramu. Meski aku tau sebanyak
apapun aku mengingatmu, rindu ini tak pernah mau tau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar