Jumat, 28 April 2017

Cangkir Kopi (Terakhir)

pict source here


Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Sudah siap di atas meja. Aromanya menggoda, asapnya mengepul dan menari-nari di udara. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Dengan banyak cemas jika kau tak juga kunjung pulang.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Kopi buatanku yang katamu selalu membuat candu. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Meski lelah, tapi senyummu yang manis itu selalu ada untukku. Meski lelah, kau tak pernah mengeluh.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Yang selalu kau hirup aromanya dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menikmatinya. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Kemudian setelah membersihkan diri, kita akan kita bercengkrama. Kita selalu duduk disini, bercerita perihal apapun yang kau alami hari ini.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Cangkir kopi ke seratus dua puluh enam pula yang sudah mendingin karena tak sedikitpun tersentuh.

Kau apa kabar, Sayang?
Bagaimana kehidupanmu yang baru? Apakah ada seseorang yang menyeduhkan kopi untukmu seperti buatanku?

Sayang, ada rindu di sini. Ia sudah lama ada dan tak mau pergi. Malah sekarang ia bertambah banyak hingga aku tak dapat menampungnya. Dan semua itu tentangmu. Tidakkah kau juga merasakannya?

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Mungkin menjadi yang terakhir, aku tak tau.

Sayang, maafkan aku yang akhir-akhir ini jarang menemuimu. Bukannya aku tak mau, aku bahkan rindu. Tapi aku takut nanti yang ada malah air mataku.

Ini sore ke seratus dua puluh enam sejak kepergianmu, Sayang.

Mungkin besok, jika ada waktu, aku akan mengunjungi pusaramu. Meski aku tau sebanyak apapun aku mengingatmu, rindu ini tak pernah mau tau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar