Rabu, 14 Juni 2017

Kita Yang Lain

pict source here


Di sini hujan belum juga reda. Bagaimana di tempatmu? Apakah sudah ada tanda-tanda akan berhenti atau malah justru turun lebih banyak lagi? Aku sekarang sedang menikmati cangkir teh kedua yang baru saja selesai kubuat, udara di luar begitu dingin hingga aku harus merapatkan hoodie cokelatku dan menggosokkan telapak tangan berkali-kali.

Aku menatap ke arah jendela, memandang butiran air hujan yang semakin lama turun semakin banyak. Kata orang, hujan akan turun sepaket dengan kenangan di dalamnya. Aku setuju. Karena sekarang, apa-apa tentang kita tiba-tiba saja muncul di kepala. Aku sudah mencoba untuk tak mengingatnya kembali, tapi kenangan itu terus berjalan seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.

Jadi, untuk sejenak saja, aku membiarkan diriku terlempar ke masa lalu. Saat dimana kita masih sama-sama muda dan bebas. Saat dimana kita punya banyak sekali impian. Saat dimana kita masih begitu polos untuk mengetahui bahwa apa yang kita rencanakan, tak selalu sejalan dengan kenyataan.

Waktu itu kita hanyalah sepasang remaja delapan belas tahun. Masih terlalu muda untuk saling mengerti. Kita masih terlalu muda untuk saling memahami perasaan satu sama lain dan lebih memilih mementingkan ego masing-masing.

Kita dulu pernah berjanji untuk terus bersama, saling menggenggam apapun yang terjadi. Apakah kamu ingat? Mungkin itu terdengar naif karena diucapkan oleh sepasang anak adam yang masih remaja. Sepasang anak adam yang masih belum mengerti apa itu perasaan yang sesungguhnya.

Kita bahkan menolak untuk menyadari bahwa semesta dengan segala takdir-Nya ternyata lebih kuat daripada kita, jauh lebih berkuasa daripada kita. Dan kita sendiri terlalu kecil untuk bisa melawannya.

Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Keadaan sudah berubah, dan kita bukan lagi dua orang yang sama. Kita sekarang adalah dua orang yang berbeda dengan kita enam tahun yang lalu dan tentunya dengan perasaan yang berbeda pula.

Namun kenyataannya kita tidak bisa bersama, kita memilih berpisah bahkan sebelum kita belajar lebih jauh untuk memahami satu sama lain. Kita bahkan tidak mencoba untuk berjuang bersama, kita sama-sama mengaku lelah, kita memilih acuh dan tidak peduli, hingga akhirnya kita memutuskan untuk berhenti.

Aku menyesap kembali teh yang sudah mulai habis setengah. Aku merapatkan hoodieku kembali karena udara di luar juga malah semakin dingin. Aku menghela napas dalam-dalam, menghirup udara banyak-banyak, karena rongga udara di sekitarku seolah-olah berkonspirasi untuk menyesakkan dadaku.

Kamu tau? Awalnya memang sulit menerima kenyataan yang ada. Karena kamu adalah orang pertama yang membuat jantungku selalu berdebar lebih cepat dari biasanya. Kamu orang pertama yang pesannya selalu aku harapkan ketika mengecek ponsel.

Tetapi waktu terus bergulir, hari terus berganti, bumi tetap berevolusi, planet-planet tetap mengorbit, dan seluruh aktifitas tetap berjalan seperti semula.

Aku sempat merasa ini tidak adil karena tidak ada yang berubah setelah perpisahan kita, mengapa hanya aku yang terus mengenang dan menyesalinya. Bahkan kamu tetap baik-baik saja setelah itu, bukan? Dan aku akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Aku memutuskan untuk tidak mengenangnya lagi, aku memutuskan untuk tidak menyesali pertemuan kita dan lebih memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan yang rapi di memori. Dan kamu lihat? Hidupku tetap berjalan normal meski tidak ada lagi kamu di dalamnya. Hingga tiba-tiba saja hujan memaksaku mengingat kembali kenangan tentangmu.

Aku kembali menatap jendela. Hujan di luar sudah mulai mereda tapi udaranya tetap saja tidak berubah, cangkir teh dalam genggamanku juga sudah kosong. Aku merapatkan kembali hoodieku dan menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya.

Seiring rintik hujan berhenti mengetuk kaca jendela, aku berharap kenangan apa-apa tentangmu juga berhenti mengetuk kepala.