Di sini hujan belum
juga reda. Bagaimana di tempatmu? Apakah sudah ada tanda-tanda akan berhenti
atau malah justru turun lebih banyak lagi? Aku sekarang sedang menikmati cangkir
teh kedua yang baru saja selesai kubuat, udara di luar begitu dingin hingga aku
harus merapatkan hoodie cokelatku dan menggosokkan telapak tangan berkali-kali.
Aku menatap ke arah
jendela, memandang butiran air hujan yang semakin lama turun semakin banyak.
Kata orang, hujan akan turun sepaket dengan kenangan di dalamnya. Aku setuju.
Karena sekarang, apa-apa tentang kita tiba-tiba saja muncul di kepala. Aku
sudah mencoba untuk tak mengingatnya kembali, tapi kenangan itu terus berjalan
seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.
Jadi, untuk sejenak
saja, aku membiarkan diriku terlempar ke masa lalu. Saat dimana kita masih
sama-sama muda dan bebas. Saat dimana kita punya banyak sekali impian. Saat
dimana kita masih begitu polos untuk mengetahui bahwa apa yang kita rencanakan,
tak selalu sejalan dengan kenyataan.
Waktu itu kita hanyalah
sepasang remaja delapan belas tahun. Masih terlalu muda untuk saling mengerti.
Kita masih terlalu muda untuk saling memahami perasaan satu sama lain dan lebih
memilih mementingkan ego masing-masing.
Kita dulu pernah
berjanji untuk terus bersama, saling menggenggam apapun yang terjadi. Apakah
kamu ingat? Mungkin itu terdengar naif karena diucapkan oleh sepasang anak adam
yang masih remaja. Sepasang anak adam yang masih belum mengerti apa itu
perasaan yang sesungguhnya.
Kita bahkan menolak
untuk menyadari bahwa semesta dengan segala takdir-Nya ternyata lebih kuat
daripada kita, jauh lebih berkuasa daripada kita. Dan kita sendiri terlalu
kecil untuk bisa melawannya.
Tapi sekarang semuanya
sudah berbeda. Keadaan sudah berubah, dan kita bukan lagi dua orang yang sama.
Kita sekarang adalah dua orang yang berbeda dengan kita enam tahun yang lalu
dan tentunya dengan perasaan yang berbeda pula.
Namun kenyataannya kita
tidak bisa bersama, kita memilih berpisah bahkan sebelum kita belajar lebih
jauh untuk memahami satu sama lain. Kita bahkan tidak mencoba untuk berjuang
bersama, kita sama-sama mengaku lelah, kita memilih acuh dan tidak peduli,
hingga akhirnya kita memutuskan untuk berhenti.
Aku menyesap kembali teh
yang sudah mulai habis setengah. Aku merapatkan hoodieku kembali karena udara
di luar juga malah semakin dingin. Aku menghela napas dalam-dalam, menghirup
udara banyak-banyak, karena rongga udara di sekitarku seolah-olah berkonspirasi
untuk menyesakkan dadaku.
Kamu tau? Awalnya
memang sulit menerima kenyataan yang ada. Karena kamu adalah orang pertama yang
membuat jantungku selalu berdebar lebih cepat dari biasanya. Kamu orang pertama
yang pesannya selalu aku harapkan ketika mengecek ponsel.
Tetapi waktu terus
bergulir, hari terus berganti, bumi tetap berevolusi, planet-planet tetap
mengorbit, dan seluruh aktifitas tetap berjalan seperti semula.
Aku sempat merasa ini
tidak adil karena tidak ada yang berubah setelah perpisahan kita, mengapa hanya
aku yang terus mengenang dan menyesalinya. Bahkan kamu tetap baik-baik saja
setelah itu, bukan? Dan aku akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama.
Aku memutuskan untuk
tidak mengenangnya lagi, aku memutuskan untuk tidak menyesali pertemuan kita
dan lebih memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan yang rapi di memori. Dan
kamu lihat? Hidupku tetap berjalan normal meski tidak ada lagi kamu di dalamnya.
Hingga tiba-tiba saja hujan memaksaku mengingat kembali kenangan tentangmu.
Aku kembali menatap
jendela. Hujan di luar sudah mulai mereda tapi udaranya tetap saja tidak
berubah, cangkir teh dalam genggamanku juga sudah kosong. Aku merapatkan
kembali hoodieku dan menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya.
Seiring rintik hujan
berhenti mengetuk kaca jendela, aku berharap kenangan apa-apa tentangmu juga
berhenti mengetuk kepala.