Rabu, 03 April 2019

Kita; Hening Yang Bising

pict source here


Pada ruang yang tak lagi bising,
Masih ada ingatan tentangmu yang belum kering.
Perihal janji yang pernah dikaitkan dengan kelingking,
Jalanmu yang tak lagi beriring,
Hingga kita yang menjadi asing.

Pada ruang yang kini telah hening,
Masih ada sisa suaramu yang tak henti berdenting.
Perihal harapan yang kau angkasakan dengan sering,
Jejak kepergianmu yang membuatku bergeming,
Hingga kita yang tak lagi bersanding.

Kukira, aku tak akan pernah tersamping.
Nyatanya, apa-apa tentang kita tak lagi penting.
Sedang bagiku, kau tetap tiada banding.
Bahkan di dalamku, kau masih utuh tak berkurang walau sekeping.
Aromamu yang lebih wangi dari bunga kemuning,
Senyummu yang selalu tersungging,
Hingga caramu mengerutkan kening.
Di kepalaku, ingatan itu tak pernah menguning.

Katamu, kau akan jadi pendamping.
Nyatanya, kau telah berpaling.

Rabu, 02 Mei 2018

Catatan Tentang Kamu

pict source here


Cerita ini masih tentang kamu.

Ketika menuliskan ini, aku sedang mencoba menahan diri untuk tidak bertanya-tanya bagaimana kabarmu, apakah kamu baik-baik saja, apa yang kamu lakukan hari ini, apakah kamu sibuk, atau pertanyaan sejenis lainnya. Karena jika aku tau sedikit saja tentangmu, hal itu akan membuatku memikirkanmu lebih jauh.

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk menimbang-nimbang apakah aku harus menceritakan ini kepada kamu atau tidak. Tetapi pada akhirnya, aku tetap menuliskan ini meski aku yakin sepertinya kamu tidak akan membacanya.

Hari ini aku tidak sengaja melihat dan membongkar kembali barang-barang lama yang aku simpan dalam lemari, dan aku menemukan buku catatan usang bersampul merah muda yang aku miliki ketika aku duduk di sekolah menengah. Aku membaca kembali beberapa ingatan lama yang aku tulis di dalamnya, dan hampir semuanya tentang kamu tentu saja.

Salah satunya adalah perihal pertama kali kita bersua, perkara aku dan kamu yang dulu masih begitu belia, dan bagaimana rasa ini mulai ada. Semuanya tertulis dengan rapi dan tanpa celah. Aku tidak pernah menyangka bahwa menuliskan apa-apa tentang kamu sudah menjadi kegemaranku sejak lama.

Aku membaca kembali tulisan itu satu persatu. Rasanya masih sama, aku selalu saja seperti dilempar kembali ke masa lalu. Masa dimana aku yang manaruh rasa dengan seluruh, dan aku harap sekarang tidak lagi seperti dulu. Semuanya masih sama seperti waktu itu, yang berbeda ialah kamu.

Sejujurnya aku sudah memprediksi apa yang akan aku rasakan nanti setelah aku membaca tulisan-tulisan itu. Dan ternyata benar, aku rindu. Terdengar klise memang, tapi ini nyata adanya.

Aku tidak yakin apakah aku juga harus menceritakan bagian ini atau tidak. Tetapi setelah itu, aku sempat berselisih dengan sisi lain dari diriku. Dan akhirnya aku memutuskan untuk merobek satu-persatu halaman itu dan membuangnya agar aku tidak bisa membacanya lagi jika suatu waktu nanti aku rindu. Apakah itu pilihan yang tepat menurut kamu? Aku yakin kamu setuju.

Jadi kukira, dengan hilangnya tulisan tentang kamu di buku catatan merah mudaku, aku berharap hilang pula kenangan apa-apa tentang kamu di kepalaku.

Minggu, 19 November 2017

Mimpi Yang (Tak) Nyata

pict source here



Pagi ini, saya bangun dengan ingatan tentang kamu di kepala. Seperti hari-hari sebelumnya, belakangan ini kamu selalu hadir di mimpi saya. Saya tidak tau mengapa, tapi hal itu sedikit banyak membuat pikiran saya menjadi tersita.

Berkali-kali saya meyakinkan diri saya sendiri untuk tidak lagi memikirkan apa-apa tentang kamu, tetapi entah dengan cara apa, berkali-kali pula kamu selalu bisa masuk ke pikiran saya dengan paksa.

Seperti beberapa hari ini, kamu selalu hadir dalam mimpi. Saya tidak tau apakah kamu mencoba untuk masuk kembali ke pikiran saya seperti waktu lalu, atau mungkin saya yang terlalu rindu.

Dalam mimpi itu, kita kembali ke masa tahun kedua di sekolah menengah. Masa dimana kita masih begitu dekat. Bukan masa sekarang, yang bicarapun kita tak sempat.

Apa yang terjadi dalam mimpi itu, mencerminkan kita enam tahun lalu. Kita yang selalu bercanda, kita yang tak henti-hentinya bercengkerama, dan kita yang tak bosan bercerita perihal apa saja.

Saya tau itu hanya mimpi, yang takkan mungkin terjadi. Tapi entah mengapa, mimpi itu sungguh terasa nyata. Saya seperti dilempar kembali ke masa lalu, masa di mana kita yang masih terlalu lugu untuk tau apa itu rindu.

Tapi nyatanya, sekarang jauh berbeda. Kamu pergi dengan duniamu, tapi saya masih berkutat dengan apa-apa perihal kamu. Adilkah?

Dan untuk sejenak saja, saya senang kamu hadir kembali. Saya senang kamu mengajak saya bercanda, bercengkerama, dan bercerita lagi. Meski saya tau itu hanya mimpi.

Saya masih terus berusaha untuk tidak membiarkan rindu itu ada. Tapi mungkin saja mereka akan datang satu atau dua, dan saya tidak bisa menghindarinya.

Dan jika nanti saya rindu, tak apa tak ada temu. Tapi barangkali, bersediakah kamu menemuiku dalam mimpi?

Sabtu, 02 September 2017

Karena Kamu; Saya Jatuh

pict source here

Saya tidak pernah tau persis kapan perasaan ini mulai ada untuk kamu. Yang saya ingat, kamu adalah orang pertama yang membuat jantung saya berdebar lebih kencang dari biasanya bahkan hanya dengan memikirkanmu.

Kamu; dengan segala yang ada pada dirimu, membuat saya begitu mudah menjatuhkan pilihan tanpa pernah mempertimbangkan risiko apa yang akan saya terima nantinya

Apa-apa yang berhubungan dengan kamu selalu menjadi pemicu debar di dada saya menjadi bergemuruh. Sebegitu hebatnya-kah, kamu?

Kamu tidak pernah melakukan apa-apa untuk saya, tetapi mengapa saya jatuh pada kamu begitu mudah? Kamu bahkan tidak pernah sedetikpun melihat ke arah saya, lantas mengapa semakin hari perasaan ini terus bertambah?

Setelah enam tahun berlalu dengan perasaan yang sama, belakangan saya menyadari bahwa kita memang berbeda.

Saya selalu memikirkan apa-apa tentang kamu, kamu tidak.
Saya selalu senang melihat kamu, kamu tidak.
Saya selalu melihat ke arahmu, kamu tidak.
Saya menyukai kamu, kamu tidak.
Saya menjatuhkan hati pada kamu, kamu tidak.

Terlalu banyak perbedaan yang bertolak belakang antara saya dan kamu.

Berkali-kali saya mencoba untuk tidak memikirkan kamu. Berkali-kali pula saya meyakinkan diri saya sendiri untuk berhenti menjatuhkan hati pada kamu.

Tetapi nyatanya, setelah enam tahun berlalu sejak dada saya berdebar lebih cepat karena kamu, saya masih menuliskan apa-apa tentangmu. Sebegitu hebatnya-kah, kamu?

Belakangan pula saya juga menyadari bahwa apapun yang terjadi, meski sulit untuk saya lalui, saya harus tetap berusaha agar dapat bersikap biasa saja ketika tidak sengaja bertemu dengan kamu nanti.

Saya ingin ketika melihat kamu, jantung saya tidak berdetak lebih cepat dari biasanya. Saya ingin kamu bukan lagi menjadi pemicu nomor satu debar di dada saya menjadi gemuruh.

Sedikitpun saya tidak pernah membenci kamu. Saya tidak pernah marah karena kamu tidak mempunyai perasaan yang sama untuk saya. Saya tidak pernah menyesal karena menjatuhkan pilihan pada kamu. Saya juga tidak pernah menyalahkanmu atas perasaan ini.

Jatuh kepada kamu adalah keputusan yang saya buat sendiri.

Setelah enam tahun berlalu sejak saya memutuskan untuk menjatuhkan hati pada kamu, satu hal yang begitu terlambat saya sadari adalah; perasaan saya terlalu berharga untuk seseorang seperti kamu.

Kepada kamu; Terima kasih telah membuat saya menyadari bahwa perasaan ini telah jatuh pada orang yang salah.

Seperti kamu, misalnya.



/Sidoarjo, Agustus 2017/

Rabu, 14 Juni 2017

Kita Yang Lain

pict source here


Di sini hujan belum juga reda. Bagaimana di tempatmu? Apakah sudah ada tanda-tanda akan berhenti atau malah justru turun lebih banyak lagi? Aku sekarang sedang menikmati cangkir teh kedua yang baru saja selesai kubuat, udara di luar begitu dingin hingga aku harus merapatkan hoodie cokelatku dan menggosokkan telapak tangan berkali-kali.

Aku menatap ke arah jendela, memandang butiran air hujan yang semakin lama turun semakin banyak. Kata orang, hujan akan turun sepaket dengan kenangan di dalamnya. Aku setuju. Karena sekarang, apa-apa tentang kita tiba-tiba saja muncul di kepala. Aku sudah mencoba untuk tak mengingatnya kembali, tapi kenangan itu terus berjalan seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.

Jadi, untuk sejenak saja, aku membiarkan diriku terlempar ke masa lalu. Saat dimana kita masih sama-sama muda dan bebas. Saat dimana kita punya banyak sekali impian. Saat dimana kita masih begitu polos untuk mengetahui bahwa apa yang kita rencanakan, tak selalu sejalan dengan kenyataan.

Waktu itu kita hanyalah sepasang remaja delapan belas tahun. Masih terlalu muda untuk saling mengerti. Kita masih terlalu muda untuk saling memahami perasaan satu sama lain dan lebih memilih mementingkan ego masing-masing.

Kita dulu pernah berjanji untuk terus bersama, saling menggenggam apapun yang terjadi. Apakah kamu ingat? Mungkin itu terdengar naif karena diucapkan oleh sepasang anak adam yang masih remaja. Sepasang anak adam yang masih belum mengerti apa itu perasaan yang sesungguhnya.

Kita bahkan menolak untuk menyadari bahwa semesta dengan segala takdir-Nya ternyata lebih kuat daripada kita, jauh lebih berkuasa daripada kita. Dan kita sendiri terlalu kecil untuk bisa melawannya.

Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Keadaan sudah berubah, dan kita bukan lagi dua orang yang sama. Kita sekarang adalah dua orang yang berbeda dengan kita enam tahun yang lalu dan tentunya dengan perasaan yang berbeda pula.

Namun kenyataannya kita tidak bisa bersama, kita memilih berpisah bahkan sebelum kita belajar lebih jauh untuk memahami satu sama lain. Kita bahkan tidak mencoba untuk berjuang bersama, kita sama-sama mengaku lelah, kita memilih acuh dan tidak peduli, hingga akhirnya kita memutuskan untuk berhenti.

Aku menyesap kembali teh yang sudah mulai habis setengah. Aku merapatkan hoodieku kembali karena udara di luar juga malah semakin dingin. Aku menghela napas dalam-dalam, menghirup udara banyak-banyak, karena rongga udara di sekitarku seolah-olah berkonspirasi untuk menyesakkan dadaku.

Kamu tau? Awalnya memang sulit menerima kenyataan yang ada. Karena kamu adalah orang pertama yang membuat jantungku selalu berdebar lebih cepat dari biasanya. Kamu orang pertama yang pesannya selalu aku harapkan ketika mengecek ponsel.

Tetapi waktu terus bergulir, hari terus berganti, bumi tetap berevolusi, planet-planet tetap mengorbit, dan seluruh aktifitas tetap berjalan seperti semula.

Aku sempat merasa ini tidak adil karena tidak ada yang berubah setelah perpisahan kita, mengapa hanya aku yang terus mengenang dan menyesalinya. Bahkan kamu tetap baik-baik saja setelah itu, bukan? Dan aku akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Aku memutuskan untuk tidak mengenangnya lagi, aku memutuskan untuk tidak menyesali pertemuan kita dan lebih memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan yang rapi di memori. Dan kamu lihat? Hidupku tetap berjalan normal meski tidak ada lagi kamu di dalamnya. Hingga tiba-tiba saja hujan memaksaku mengingat kembali kenangan tentangmu.

Aku kembali menatap jendela. Hujan di luar sudah mulai mereda tapi udaranya tetap saja tidak berubah, cangkir teh dalam genggamanku juga sudah kosong. Aku merapatkan kembali hoodieku dan menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya.

Seiring rintik hujan berhenti mengetuk kaca jendela, aku berharap kenangan apa-apa tentangmu juga berhenti mengetuk kepala.

Jumat, 28 April 2017

Cangkir Kopi (Terakhir)

pict source here


Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Sudah siap di atas meja. Aromanya menggoda, asapnya mengepul dan menari-nari di udara. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Dengan banyak cemas jika kau tak juga kunjung pulang.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Kopi buatanku yang katamu selalu membuat candu. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Meski lelah, tapi senyummu yang manis itu selalu ada untukku. Meski lelah, kau tak pernah mengeluh.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang sudah kuseduh, Sayang. Yang selalu kau hirup aromanya dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menikmatinya. Seperti biasa, ketika sore hari tiba, aku akan menunggu kepulanganmu di beranda rumah. Kemudian setelah membersihkan diri, kita akan kita bercengkrama. Kita selalu duduk disini, bercerita perihal apapun yang kau alami hari ini.

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Cangkir kopi ke seratus dua puluh enam pula yang sudah mendingin karena tak sedikitpun tersentuh.

Kau apa kabar, Sayang?
Bagaimana kehidupanmu yang baru? Apakah ada seseorang yang menyeduhkan kopi untukmu seperti buatanku?

Sayang, ada rindu di sini. Ia sudah lama ada dan tak mau pergi. Malah sekarang ia bertambah banyak hingga aku tak dapat menampungnya. Dan semua itu tentangmu. Tidakkah kau juga merasakannya?

Ini cangkir kopi ke seratus dua puluh enam yang kuseduh, Sayang. Mungkin menjadi yang terakhir, aku tak tau.

Sayang, maafkan aku yang akhir-akhir ini jarang menemuimu. Bukannya aku tak mau, aku bahkan rindu. Tapi aku takut nanti yang ada malah air mataku.

Ini sore ke seratus dua puluh enam sejak kepergianmu, Sayang.

Mungkin besok, jika ada waktu, aku akan mengunjungi pusaramu. Meski aku tau sebanyak apapun aku mengingatmu, rindu ini tak pernah mau tau.