Teruntuk seseorang
yang selalu hadir di kepalaku,
Pada surat yang
kutulis ini, aku tak akan banyak bertanya, bahkan perihal kabarmu sekalipun.
Meski ada banyak sekali tanya yang berkeliaran di kepala. Aku akan lebih banyak
bercerita, jadi tolong dengarkan saja, dan aku harap ini tidak akan menjadi
surat yang panjang dan membosankan.
Kau tau? Untuk
menuliskan surat ini, aku harus mengumpulkan keberanian yang lebih. Padahal aku
tak pernah mengira, mengapa bicara padamu harus secanggung ini. Bahkan melalui surat sekalipun aku harus
mengatakannya dengan hati-hati.
Meski kita tidak
bertatap muka, izinkan aku lebih banyak berbicara tanpa jeda, kali ini saja,
karena bicara padamu menjadi suatu hal yang tak lagi mudah.
Apakah kau ingat?
Kita pertama kali bersua pada tahun kedua di sekolah menengah. Mungkin kau melupakannya, tapi biarkan aku
untuk terus mengingatnya. Karena hanya dengan cara itulah aku bisa menemukanmu
ketika rindu tiba.
Matamu yang serupa
purnama, lengkung bibirmu yang serupa bulan sabit yang indah, bahumu yang
begitu kokoh bagai baja, hingga kebaikanmu yang selalu ada, membuatku
memutuskan untuk menjatuhkan hati padamu begitu saja.
Lalu, pada suatu
waktu yang entah, tiba-tiba semua berubah. Aku tak pernah tau apa alasannya,
apa mungkin hanya karena kau tau aku menaruh rasa, lantas kau mencipta jarak antara
kita. Pikiranmu sedangkal itukah?
Kita pernah begitu
dekat, namun sekarang bicara pun kita tak sempat. Kita pernah begitu akrab,
namun sekarang aku adalah orang yang bahkan tak ingin kau lihat. Kita pernah
bercanda tawa, namun sekarang kita telah jauh sejauh-jauhnya.
Jika kau tanya mengapa aku menuliskan untukmu sebuah
surat, aku hanya ingin menyampaikan kata maaf yang kuharap belum terlambat. Perihal kesalahan-kesalahan yang pernah kubuat,
yang mungkin pernah membuatmu marah dan kecewa dengan sangat, hingga kau
menghadiahiku jarak dengan banyak sekat.
Maafkan aku pula karena pernah menaruh rasa, karena kita sendiri tak pernah bisa memilih untuk siapa perasaan ini ada. Meski aku akan baik-baik saja karena kau tak sedikitpun membalasnya, tapi aku tau jika pertemanan kita tak akan pernah sama.
Maafkan aku pula karena pernah menaruh rasa, karena kita sendiri tak pernah bisa memilih untuk siapa perasaan ini ada. Meski aku akan baik-baik saja karena kau tak sedikitpun membalasnya, tapi aku tau jika pertemanan kita tak akan pernah sama.
Kadangkali, aku ingin kembali memutar waktu
sampai pada hari dimana ketika kita pertama kali bertemu, kau dan aku
berbincang dan berkelakar dengan seru. Kadangkali pula, aku ingin kau mencoba bersikap biasa
saja, seolah-olah kau tak tau apa-apa. Tapi aku yakin kau tak akan bisa.
Namun seringkali, aku ingin bersikap sepertimu,
yang dengan mudahnya acuh. Tapi seberapa keras aku berusaha, aku tak pernah
bisa melupa, karena lagi-lagi kita dipertemukan kembali oleh semesta. Bahkan
jika dikalkulasikan, ini sudah hampir tahun ke-tujuh kita belajar dalam instansi
yang sama. Lantas aku harus apa? Kesalkah, atau malah bahagia?
Seringkali pula, pada malam-malam yang panjang,
rindu itu ada. Ia tak hanya datang satu atau dua, ia datang banyak sekali
hingga aku tak dapat menghitung jumlahnya. Kemudian mereka menari-nari dalam
kepala dan membawa kembali ingatan tentang kita yang tak seberapa. Aku tak bisa
menahannya atau menghilangkannya, jadi kubiarkan saja dan mencoba untuk
menikmatinya meski menimbulkan sedikit nyeri di dada.
Aku tau kau tak akan mau membaca surat dariku,
meski aku berkali-kali menuliskannya untukmu. Tapi walaupun begitu, kau akan
tetap hidup dalam kepalaku, di sanalah engkau selalu. Tenang saja, aku akan
tetap berusaha melupa pada apa-apa perihal kita. Meski aku tak yakin dapat
melakukannya. Tapi aku akan berusaha, percayalah.
Sebagai penutup, semoga bahagiamu selalu
meletup-letup.
Dari Aku,
Seseorang
yang kau buat jatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar