Selasa, 07 Februari 2017

Ibu, Surat Ini Untukmu

Teruntuk wanita yang kasihnya sepanjang masa,

Ibu, surat pertamaku ini kutujukan padamu. Aku tak pernah menduga sebelumnya, menuliskan sesuatu tentangmu, Ibu, lebih sulit dari yang kukira.

Haruskah aku menanyakan kabarmu terlebih dahulu, seperti pembuka surat pada umumnya? Meski aku tau, kau akan baik-baik saja. Setidaknya itulah yang terlihat di mataku, dan kuharap semoga memang begitu.

Sejujurnya, aku sedikit enggan menuliskan surat ini untukmu. Mengapa? Karena aku yakin akan ada air mata di dalamnya. Sungguh, apa-apa yang berhubungan denganmu, Ibu, selalu menjadi pemicu nomor satu timbulnya anak sungai di mataku. Dan meski tanpa kutuliskan surat untukmu pun, kau tau cintaku padamu begitu rimbun.

Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk menulis surat pertamaku untukmu. Karena ada beberapa hal yang tak bisa, atau mungkin aku tak berani, untuk mengatakannya. Lagi pula, perihal menulis apa-apa tentangmu pun terkadang seperti cinta; tak membutuhkan alasan untuk melakukannya.

Jam di ponselku menunjukkan pukul dua belas malam lewat satu jam tiga puluh tiga menit ketika aku menuliskan surat ini, dan aku masih sepenuhnya terjaga. Sedangkan kau sudah merebahkan lelahmu sejak beberapa jam yang lalu. Tidurmu tidak begitu pulas, ada beberapa batuk yang mengiringi di sela-selanya.

Dengan surat ini, Ibu, aku ingin mengucapkan berjuta-juta terima kasih. Meski aku tau, sebanyak apapun terima kasih yang ku ucap, tak pernah cukup untuk menandingi kasih dan pelukmu yang begitu hangat. Terima kasih pula untuk setiap doa-doamu untukku yang senantiasa mengangkasa tanpa henti, untuk segala peluh yang membanjiri, serta seluruh pengorbanan yang kau beri.

Pun, aku ingin menghaturkan berjuta-juta kata maaf. Meski aku paham, tanpa aku katakan pun cintamu untukku tak akan pernah karam. Maaf pula untuk setiap kata yang tiba-tiba keluar tanpa permisi, hingga terkadang membuat dadamu nyeri. Tapi maafmu selalu ada untukku yang tak tahu diri.

Rasanya aku ingin terus berbincang denganmu, Ibu, bercerita dan berkelakar mengenai banyak hal. Perihal seorang lelaki yang membuatku jatuh sejak tahun kedua di sekolah menengah, tugas kuliah yang tak berujung seperti bola, hingga hal-hal kecil seperti kemacetan sore hari yang membuatku jengah. Dan seperti biasa kau akan dengan setia selalu mendengarkanku bercerita, walau kau sendiri sebenarnya lelah.

Dan pada tiap waktu, izinkan aku untuk membagi seluruh bahagiaku, meluapkan tangisku yang tumpah ruah di pangkuanmu, serta terus memeluk lenganmu yang serupa tungku.

Sejujurnya, Ibu, ada lebih banyak perihal yang ingin kusampaikan padamu melalui surat ini. Tapi aku kira, satu malam saja tak akan cukup. Akan ada malam-malam yang lain, yang lebih panjang dari ini. Bahkan aku rasa, tak pernah cukup waktuku untuk menuliskan apa-apa tentangmu.

Maafkan pula untuk air mata yang akhirnya keluar meski aku mati-matian menahannya sepanjang menuliskan surat ini. Tak pernah henti pula semogaku untukmu agar engkau sehat selalu.

Ibu, satu hal lagi yang harus kau ketahui sebelum surat ini benar-benar ku akhiri. Meski cintaku begitu sunyi dan jarang sekali secara langsung kuakui, padamu, aku begitu menyayangi.

Dari Aku,
Seseorang yang mencintaimu dengan penuh.

p.s. ditulis di sebelah kamar Ibu pada pukul 02.13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar